Minggu, 26 April 2009

revisi

Hukuman pokok telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Pidana terdiri atas:
a. Pidana Pokok:
1.Pidana Mati
2.Pidana penjara
3.Kurungan
4.Denda
b. Pidana Tambahan
1.Pencabutan hak-hak tertentu
2.Perampasan barang-barang tertentu
3.Pengumuman putusan hakim.

Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.
a.1. Pidana Mati
Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan berencana (Pasal340 KUHP), pencuruan dengan kekerasan (Pasal 365 ayat(4), pemberontakan yang diatur dalam pasal 124 KUHP.

a.2. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian.(Leden marpaung, 2008:108). Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi:
(1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turutdalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena pembarengan (concursus), pengulangan(residive) atau Karena yang telah ditentukan dalam pasal 52.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.

a.3. kurungan
Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur, selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi :
(1). Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun.
(2). Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52 dan 52 a.

a.4. Denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif. Jumlah yang dapay dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimim, tidak ada ketentuan.Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP,yang berbunyi:
(1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
(2) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka diganti dengan hukuman kurungan.
(3) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.
(4) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa, bahwa harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari, akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga.
(5) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya delapan bulan dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada gabungan kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a.
(6) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan.

Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik keluarga atau kenalan dapat melunasinya.
b.1. Pencabutan hak-hak tertentu
Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi:
(1) Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang umum lainnya, ialah
1. Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu;
2. Masuk balai tentara;
3. Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undang-undang umum;
4. Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya sendiri;
5. Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri;
6. Melakukan pekerjaan tertentu;
(2) Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan itu.

b.2. Perampasan Barang Tertentu

Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi:
(1) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas.
(2) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja atau karena melakujkan pelanggran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang.
(3) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atsa orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita.

b.3. Pengumuman Putusan Hakim
Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumuman kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhuku. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP).

hukuman mati

Hukuman mati
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hukuman mati di dunia
Keterangan:
Biru: dihapus untuk semua kejahatan
Hijau: dihapus untuk kejahatan biasa tetapi tidak untuk luar biasa (perang)
Oranye: secara praktis telah menghapus
Merah: masih dilakukan

Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.

Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktek hukuman mati hanya dilakukan di empat negara: Iran, Tiongkok, Saudi Arabia, dan Amerika Serikat.Daftar isi [sembunyikan]
1 Metode
2 Kontroversi
2.1 Kesalahan vonis pengadilan
2.2 Seiring Kesalahan Vonis Mati terhadap Terpidana mati
3 Vonis Mati di Indonesia
4 Lihat pula


[sunting]
Metode

Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,
sengatan listrik: Amerika Serikat
digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura
suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS
tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain
rajam: Afganistan, Iran

[sunting]
Kontroversi

Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.

Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.

Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.

Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.

[sunting]
Kesalahan vonis pengadilan

Sejak 1973, 123 terpidana mati dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu 6 kasus di tahun 2005 dan 1 kasus di tahun 2006. Beberapa diantara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik.

[sunting]
Seiring Kesalahan Vonis Mati terhadap Terpidana mati

Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak adalagi unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud.

[sunting]
Vonis Mati di Indonesia

Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.

Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.

Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.

Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

Di Indonesia, sejumlah perundangan menetapkan adanya hukuman mati pada para pelaku kasus pidana. Beberapa vonis mati pernah dijatuhkan hakim antara lain:
Kolonel Laut (S) M. Irfan Djumroni. Dia divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III-Surabaya pada 2 Februari 2006. Dia dipecat dari kesatuan TNI-AL karena membunuh isterinya Ny Eka Suhartini dan Ahmad Taufik SH, hakim pada Pengadilan Agama Sidoarjo, pada 21 September 2005 bersamaan sidang putusan gono gini perceraiannya di Pengadilan Agama Sidoarjo. Dia dinilai melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 351 KUHP tentang pembunuhan, dan melanggar UU Nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilihan senjata tanpa izin.
Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Dijatuhi vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan kembali dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru. Kasus vonis mati mereka menimbulkan banyak kontroversi sehingga menyebabkan rencana vonis mati mereka tertunda beberapa kali. Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22 September 2006 di Palu.

[sunting]
Lihat pula
Hari anti hukuman mati
Guillotine
Kursi listrik
algojo
hukum qishash


Kategori: Metode eksekusi

Sabtu, 25 April 2009

Kejahatan

KEJAHATAN KEMANUSIAAN GAYA BARU

Perkembangan gaya pikir manusia membuahkan cara baru kejahatan kemanusiaan dalam bekerja. Modus ‘serangan’ terhadap hak asasi manusia (HAM) tidak lagi didominasi oleh militer. Senjata fisik bukan lagi cara dominan. Kekuasaan sipil bisa lebih militeristik dibandingkan militer sendiri. Pun sistematisasi serangan terhadap HAM bisa dengan alat hukum tertulis yang dioperasikan oleh kekuasaan yang bersekongkol, terdiri atas empat unsur oligarki, yaitu: pemilik kapital, penguasa politik (pemerintah pusat atau daerah), kekuasaan ilmiah (ahli), dan kekuasaan keamanan dan atau pertahanan (militer atau polisi).

Oligarki tersebut juga menciptakan organisasi yang berlabel lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non-government organization (NGO) sebagai alat untuk menghadapi LSM atau NGO oposisi oligarki. Selain itu, mereka juga memasuki kawasan kekuasaan sosial informal yang seperti yang dimiliki lembaga atau para pemuka agama. Oligarki itu juga didukung oleh para advokat handal. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika oligarki itu merasuki pori-pori spirit penegakan hukum, membuat lembaga penegak hukum juga tunduk kepada mereka.


Modus baru


Andaikan gejala yang turut-temurut dalam kasus lumpur Lapindo dapat disimpulkan (dengan alat-alat bukti) sebagai ‘serangan sistematis’ untuk ‘memindahkan penduduk’ (selaku korban), yaitu dengan cara: tidak memasang selubung pelindung (casing) di kedalaman tertentu dalam pemboran sehingga terjadi semburan lumpur; memindahkan rig pemboran saat semburan lumpur untuk memperkecil kemudahan penanganan awal; pura-pura menanggulangi semburan lumpur dengan beberapa teknik yang tidak tuntas; menanggul kolam lumpur dengan cara berbeda, untuk sisi tertentu tanggul diperkuat, untuk sisi lain tidak diperkuat supaya ambrol sehingga penduduk akan menyingkir; memakai kekuasaan pemerintah untuk menelurkan Perpres No. 14/2007 agar penduduk ‘terpaksa’ menjual tanah mereka; mendesain akta jual-beli tanah dengan korban dengan klausul subyektif agar korban tidak menuntut; dan seterusnya.

Tidak seluruh perbuatan di atas harus merupakan unsur-unsur yang harus dirangkaikan. Misalnya, perbuatan sengaja memperlemah tanggul lumpur Lapindo di sisi tertentu sehingga akhirnya tanggul ambrol sehingga penduduk terusir, adalah merupakan ‘serangan sistematis’ yang bersifat ‘luas’. Tetapi akal sehat korban tidak terlalu berpedoman pada ‘cara’ pelaku menyingkirkan atau memindahkan mereka, namun yang substansial adalah akibatnya yang luas, menghancurkan nasib hidup mereka. Normal jika itu disebut sebagai kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity).

Merancang ‘pengusiran penduduk’ bisa dengan cara penetapan kawasan hutan yang dihuni kelompok penduduk asli atau adat di hutan menjadi hutan lindung, sehingga penduduk asli yang tidak mau pindah dipidanakan; lalu negara menerbitkan aturan untuk memberi izin korporasi untuk melakukan usaha pertambangan di hutan lindung itu. Itu juga merupakan modus baru kejahatan kemanusiaan.


Interpretasi progresif


Kejahatan kemanusiaan yang dirumuskan oleh pasal 7 huruf b jo. pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ‘menjiplak’ Rome Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma). Tapi sayangnya UU No. 26 Tahun 2000 memangkas pasal 7 ayat (1) huruf k Statuta Roma yang menentukan:Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Tanpa tafsir progresif untuk kembali pada asal substansi UU No. 26 Tahun 2000 (yaitu: Statuta Roma) maka hukum HAM tak akan bisa menjangkau kejahatan kemanusiaan gaya baru yang dilakukan oligarki (korporasi selaku pelaku sentralnya) dengan modus baru tersebut, sebelum legislator mengubah undang-undang itu untuk merumuskan formulasi baru tentang kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat.

Dengan contoh kasus di atas, saya coba hubungkan dengan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan berdasar pasal 9 huruf d UU No. 26 Tahun 2000 yang menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: ... d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.”

Unsur “serangan yang meluas” atau unsur “sistematik” serta unsur “terhadap penduduk sipil” (selaku korban) dalam ketentuan tersebut seharusnya tidak lagi ditafsir sempit sebagai perbuatan pelaku militer kepada korban sipil. Dalam dunia baru ini, kelompok penduduk anggota militer di suatu kawasan hunian pun bisa mungkin menjadi korban ‘pengusiran’ sistematis oleh korporasi yang membutuhkan tanah hunian mereka melalui cara bersekongkol dengan para pemegang kekuasaan pengambil keputusan atau pembuat regulasi. Pun istilah “serangan” juga tak relevan lagi ditafsir secara tunggal sebagai perbuatan fisik. “Serangan” sistematis secara paksa bisa juga melalui keputusan pemerintahan yang tanpa atau didasarkan landasan regulasi yang tidak adil.

Maka, Komisi Nasional (Komnas) HAM seharusnya menjadi pioner dalam menafsir dengan cara baru, cara progresif atas suatu kasus yang dapat dikategorikan kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat, yang seharusnya akan menjadi bahan bagi legislator untuk meluruskan UU No. 26 Tahun 2000.

Guna penegakan HAM yang lebih obyektif – karena pelakunya juga bisa pejabat penting pemerintah – maka kekuasaan independen Komnas HAM mestinya tidak dibatasi sekedar penyelidik, tapi diperluas hingga dalam penyidikan dan penuntutan, seperti halnya wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain soal korupsi, kejahatan pelanggaran HAM berat juga merupakan extra ordinary crimes sebagaimana diutarakan dalam Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2000. Maka, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 harus diperbaharui.

Gugat

Pekerja Gugat Manajemen PT. Phillips Indonesia Jawa Timur

Di bawah ini kutipan analisis gugatan 10 pekerja PT. Phillips Indonesia yang didaftarkan tanggal 08 Agustus 2008, mendapatkan register perkara No. 154/G/2008/PHI-Sby.

Gugatan ini melebar ke arah tuntutan ganti kerugian imateriil dan memperluas tergugat bukan hanya perusahaan tapi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo. Perluasan itu sebagai bentuk eksperimen hukum mengingat selama ini belum ada saluran hukum untuk gugatan kerugian lain di luar uang pesangon yang ditentukan Hukum Ketenagakerjaan. Jika kelak Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan ganti kerugian di luar pesangon dan lain-lain yang ditentukan UU No. 13 Tahun 2003 maka putusan itu dapat menjadi dasar gugatan ganti kerugian selain pesangon di Pengadilan Negeri.

Terima kasih.

ANALISIS HUKUM POKOK PERKARA
    1. Bahwa upaya Tergugat I untuk menggantikan kedudukan kerja para Penggugat di perusahaannya dengan pekerja outsourcing tersebut merupakan perbuatan melawan hukum sebab dilakukan dengan melanggar hukum yang berlaku. Tergugat I telah berlaku curang dan tidak adil, apalagi ada kewajiban hukum bagi Tergugat I untuk tidak mempekerjakan pekerja outsourcing pada kegiatan utama perusahannya (vide Pasal 64 – 66 UU No. 13 Tahun 2003).

    1. Bahwa akal-akalan evaluasi kerja yang dilakukan Tergugat I kepada para Penggugat akan tampak ‘kepalsuannya’ jika dilihat dari faktor-faktor:

      1. Para Penggugat terbukti bekerja rata-rata lebih dari 9 (sembilan) tahun dengan peningkatan prestasi kerja sehingga tidak masuk akal jika dikatakan tidak cakap bekerja;

      1. Dalam perundingan-perundingan antara pengurus SPSI PUK perusahaan Tergugat I dengan Tergugat I tampak adanya pembicaraan penggantian pekerja tetap dengan pekerja outsourcing, dengan adanya tawaran ‘pensiun diri’ kepada para pekerja.

      1. Terdapat alat bukti kecurangan atau kesalahan dalam melakukan penilaian evaluasi sehingga itu bisa menjadi petunjuk adanya manipulasi tersebut.

    1. Bahwa selain itu Tergugat I telah melanggar pasal 40 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang menentukan bahwa Surat Peringatan Terakhir (SP III) haruslah melalui tahap-tahap SP I dan SP II.

    1. Bahwa Tergugat I juga melanggar pasal 126 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

    1. Bahwa Tergugat I melanggar pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 juga menentukan tahap-tahap surat peringatan pertama, kedua dan ketiga.

    1. Bahwa dengan demikian SP III yang dikeluarkan Tergugat I kepada para Penggugat tersebut adalah tidak sah sebab bertentangan dengan PKB dan UU No. 13 Tahun 2003.

    1. Bahwa Tergugat I dan II telah keliru menggunakan dasar hukum, yaitu pasal 7 ayat (1) huruf c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmennaker) No. Kep.150/Men/2000 yang bertentangan dengan pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Dalam hal ini berlaku asas lex superiori derogat lex inferiori, di mana kedudukan UU No. 13 Tahun 2003 lebih tinggi dibandingkan Kepmenaker No. Kep.150/Men/2000.

    1. Bahwa hukum harus menyarakan Kepmennaker No. Kep.150/Men/2000 sudah tidak berlaku lagi sebab peraturan tersebut sudah tak mungkin lagi dapat digunakan mengingat lembaga-lembaga penyelesaian hubungan industrial Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan P4P yang diatur di dalamnya sudah tak ada, diganti dengan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

    1. Bahwa pasal 125 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa peraturan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1957 masih dinyatakan berlaku selama tidak bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 2004. Sedangkan Kepmennaker No. Kep.150/Men/2000 sebagai salah satu peraturan pelaksana UU No. 22 Tahun 1957 bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2004 sebab mengandung hukum acara perselisihan hubungan industrial yang berbeda dengan UU No. 2 Tahun 2004.

    1. Bahwa perbuatan Tergugat I dan II yang memaksakan penggunaan dasar pasal 7 ayat (1) Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 tersebut merupakan misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaannya yang lebih dominan).

    1. Bahwa untuk menentukan performance para Penggugat dalam bekerja tidak mudah dilakukan secara invidual mengingat unit kerja masing-masing para Penggugat dijalankan oleh masing-masing Tim atau kelompok pekerja. Seandainya suatu saat ada kegagalan kerja sebuah tim kerja yang ditempati masing-masing Pekerja maka tidak mudah untuk dikatakan sebagai kesalahan personal. Maka, alat bukti Pengusaha untuk membuktikan tuduhannya tidaklah cukup hanya dengan hasil ujian di atas kertas subyektivitas dengan penilaian personal.

    1. Bahwa UU No. 13 Tahun 2003 memberikan batas ukuran ketidakmampuan bekerja diformulasikan dengan ‘masa percobaan’ selama 3 (tiga) bulan bagi para pekerja tetap (pasal 60). Padahal para Penggugat sudah bekerja rata-rata lebih dari 9 (sembilan) tahun.

    1. Bahwa seandainya hasil evaluasi terhadap para Penggugat tidak curang – padahal curang – maka Tergugat I pun tidak adil dan subyektif dalam menentukan standar kelulusan evaluasi kerja sebab menetapkan standar nilai 100 (dalam rentang skor 0 – 100). Tergugat I memutuskan tidak lulus jika hasil ujian para Penggugat kurang dari angka 100. Padahal dalam standar internasional pencapaian angka 70 (dalam rentang skor 0 – 100) adalah dianggap lulus. Charles R. Thomas, Mechanical Engineering Technology Purdue University dalam Rational Standard and Ability Adjusted Standard Transformed Score Models memberikan abstrak standar model skor yang rasional sebagai berikut:

A rational approach to standard transformed scores which always results in the numerical to letter grade correspondence A (90 & above), B (80-89.99), C (70-79.99), D (60-69.99), and F (59.99 & below) for any chosen hypothetical grade distribution model is developed.”

(Sumber: http://epm.sagepub.com/cgi/content/abstract/45/4/803)

Dalam standar nasional (Indonesia), angka 60 (dalam rentang skor 0 – 100) dianggap lulus. Dengan kondisi sosial saat ini, bahkan dalam Ujian Nasional skor kelulusan anak-anak sekolah minimalnya hanya 5,5 (atau 50,50 dalam skor rentang 0 – 100). Pun dalam kondisi sosial ketenagakerjaan nasional Indonesia saat ini, penetapan skor kelulusan harus (mutlak) 100 merupakan cara yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju di Eropa dan Amerika.

Dengan demikian Tergugat I telah melanggar hak asasi manusia (HAM) terkait hak memperoleh pekerjaan dan hak mendapatkan syarat-syarat yang adil dalam ketenagakerjaan. Pasal 38 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menentukan: “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

    1. Bahwa tindakan Tergugat I yang selalu melanggar hukum tersebut terkait dengan kebiasaannya yang memang cenderung melanggar hukum, diantaranya:


        1. Tergugat I biasa menerapkan pola hubungan kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ketika pekerja baru mulai bekerja pada perusahaannya. Hal itu melanggar pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 dan Kepmenakertrans No. Kep100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT.


        1. Tergugat I biasa menggunakan tenaga kerja outsourcing pada bidang-bidang pekerjaan proses produksi sebagai bagian melekat kegiatan utama perusahaan Tergugat I yang dikerjakan di dalam perusahaannya (tidak terpisah). Hal itu melanggar ketentuan pasal 64 – 66 UU No. 13 Tahun 2003.


Kedua bentuk kebiasaan pelanggaran tersebut berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada teguran atau tindakan administratif dari lembaga pemerintah yang berwenang. Sehingga timbullah kebiasaan berlaku sewenang-wenang.


    1. Bahwa perbuatan Tergugat II yang berkonspirasi dengan Tergugat I tersebut juga merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan para Penggugat.


    1. Bahwa karena SP III Tergugat I kepada para Penggugat secara langsung tanpa melalui SP I dan SP II yang dilandasi oleh perbuatan curang atau tidak adil serta melanggar PKB dan melanggar UU No. 13 Tahun 2003 maka harus dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum.

    1. Bahwa perbuatan Tergugat I yang memPHK para Penggugat tanpa ijin tersebut juga melanggar hukum dan merugikan para Penggugat maka harus dinyatakan batal demi hukum.

    1. Bahwa kerugian para Penggugat akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I dan II adalah bentuk kerugian imateriil, yaitu:


      • Kerugian moril dalam keluarga dan tetangga dari perasaan menderita akibat menyimpan rasa malu. Para Penggugat harus menyembunyikannya dengan tetap ‘pura-pura’ berangkat bekerja.


      • Kerugian sosial di lingkungan kerja yang lebih luas di perusahaan Tergugat I sebab tidak semua pekerja di sana mengetahui sebab-sebab perkara ini sehingga para Penggugat seolah-olah adalah orang-orang yang bersalah dan tidak berkualitas.


Kerugian imateriil tersebut jumlahnya tak terhingga tetapi cukup masuk akal dan adil jika dinilai masing-masing para Penggugat sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk masing-masing Penggugat.


    1. Bahwa dengan demikian Tergugat I dan II secara tanggung-renteng harus dihukum membayar ganti kerugian imateriil kepada para Penggugat untuk masing-masing sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) secara tunai, seketika dan sekaligus, bagi tanggungan Tergugat I dengan jaminan harta kekayaannya.

    1. Bahwa agar gugatan ini tidak sia-sia apabila dikhawatirkan Tergugat I tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini maka mohon agar pengadilan ini meletakkan sita jaminan terhadap kekayaan Tergugat I berupa barang-barang bergerak, dan jika tak ditemukan atau tak mencukupi atau tak memungkinkan secara hukum maka sita jaminan mohon diletakkan pada tanah dan bangunan hak Tergugat I yang terletak di Jl. Berbek Industri I Kav. 5 -19 Sidoarjo dan di tempat lain yang ditemukan, serta agar dinyatakn sah dan berharga sita jaminan tersebut.

    1. Bahwa jika Tergugat II tidak tunduk pada putusan perkara ini untuk membayar ganti kerugian bagian tanggungannya maka dapat melalui mekanisme hukum pemerintahan yang ada.

    1. Bahwa dengan demikian Tergugat I harus dihukum untuk memperbaiki hubungan industrial dengan para Penggugat dan mengembalikan masing-masing para Penggugat untuk bekerja pada jabatan masing-masing, serta diperlakukan adil dan sama dengan pekerja lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta standar umum ketenagakerjaan nasional Indonesia.

    1. Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I kepada para Penggugat tersebut berkaitan dengan penggunaan pekerja outsourcing maupun pekerja yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu di perusahaan Tergugat I, sehingga untuk mencegah akibat buruk lanjutannya maka mohon agar pengadilan ini menghukum Tergugat I menghentikan perekrutan pekerja outsourcing dan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

    1. Bahwa untuk menghindari problem ketenagakerjaan yang lebih luas yang juga berakibat buruk bagi diri para Penggugat maka mohon agar pengadilan ini memerintahkan Tergugat I untuk mengangkat para pekerja outsourcing dan PKWT menjadi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tak tertentu (pekerja tetap) terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

    1. Bahwa berkaitan dengan pelanggaran hukum Tergugat I yang mempekerjakan pekerja outsourcing dan PKWT maka mohon pula pengadilan ini memerintahkan kepada Tergugat II untuk melarang Tergugat I menggunakan pekerja outsourcing dan PKWT memberikan hukuman administratif kepada Tergugat I.

    1. Bahwa berkenaan dengan gugatan agar Tergugat I dan II melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dijelaskan di depan kecuali gugatan pembayaran uang maka apabila Tergugat I dan II tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini yang telah telah bersifat dapat dilaksanakan maka mohon agar Tergugat I dan II dihukum membayar uang paksa sebesar Rp. 5.000.000,- (limajuta rupiah) per hari terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini sampai dengan Tergugat I dan II tunduk melaksanakannya.

    1. Bahwa apabila Tergugat I dan II dikalahkan dalam perkara ini mohon untuk dihukum membayar biaya perkara ini.

    1. Bahwa oleh karena Tergugat I menggunakan dasar Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 maka dikhawatirkan akan melanggar ketentuan pasal 155 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 maka mohon dalam putusan sela pengadilan ini memerintahkan kepada Tergugat I agar tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh para Penggugat.


  1. PETITUM GUGATAN

Berdasarkan uraian tersebut para Penggugat memohon agar pengadilan ini memutuskan:

DALAM PUTUSAN SELA:

Memerintahkan Tergugat I agar tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh para Penggugat.


DALAM POKOK PERKARA:

  1. Menerima dan mengabulkan gugatan para Penggugat untuk seluruhnya;

  1. Menyatakan bahwa Surat Peringatan III yang dikeluarkan untuk para Penggugat dalam perkara ini batal demi hukum;

  1. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat I dan disarankan Tergugat II kepada para Penggugat batal demi hukum;

  1. Menyatakan Tergugat I dan II telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga merugikan para Penggugat;

  1. Menghukum Tergugat I dan II secara tanggung-renteng membayar ganti kerugian imateriil kepada para Penggugat untuk masing-masing para Penggugat sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) secara seketika, tunai dan sekaligus;

  1. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap kekayaan Tergugat I tersebut;

  1. Menghukum Tergugat I untuk memperbaiki hubungan industrialnya dengan para Penggugat dan mengembalikan kedudukan atau jabatan kerjanya seperti sediakala sebelum diberikan skorsing dan memperlakukan para Penggugat dengan syarat-syarat dan standar pengelolaan ketenagakerjaan nasional yang adil terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

  1. Menghukum Tergugat I untuk menghentikan perekrutan pekerja outsourcing dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terhitung sejak gugatan perkara ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

  1. Menghukum Tergugat I untuk mengangkat para pekerja outsourcing dan PKWT menjadi pekerja tetap terhitung sejak gugatan perkara ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini;

  1. Menghukum Tergugat II untuk segera melarang Tergugat I mempekerjakan pekerja outsourcing dan PKWT serta memberikan sanksi adminsitratif kepada Tergugat I.

  1. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 5.000.000,- (limajuta rupiah) per hari terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di pengadilan ini apabila Tergugat I dan II tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini;

  1. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar biaya perkara ini.


Subsider: Mohon diputuskan seadil-adilnya.

Mahkamah

Mahkamah Pemupus Harapan Seorang Buruh

Seorang guru SMA bekerja di Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI) Surabaya telah diperlakukan tidak adil, bukan saja oleh YPPI selaku majikannya yang dipimpin oleh Kresnayana Yahya, pakar statistik itu, tapi juga oleh lembaga pengadilan yang menjalankan proses peradilan yang tidak tunduk pada hukum itu sendiri.

Mantan guru SMA YPPI itu adalah Mudjimantara, beralamat di Jl. Panjang Jiwo VI / 15 Surabaya, dipekerjakan sebagai guru Ekonomi akuntansi SMA YPPI-II Surabaya sejak 1 Juli 1988, atau bekerja selama 17 tahun terhitung sampai dengan 2005 .

Pada tanggal 24 Juni 2005, Kepala SMA YPPI-II Surabaya, waktu itu adalah Sdri Dra. V. Murtiani, memberikan surat nomor 244/P.16/SMA.YPPI-II/VI/2005 kepada Sdr. Mudjimantara yang isinya menyatakan pemberitahuan bahwa SMA YPPI-II Surabaya tidak melanjutkan kerjasamanya dengan Sdr. Mudjimantara.

Masalah tersebut menjadi sengketa antara Sdr. Mudjimantara dengan YPPI sebab ternyata YPPI hanya menawarkan uang pisah sebesar Rp. 11 juta, tetapi Sdr. Mudjimantara meminta agar YPPI membayar uang pesangon Rp. 25 juta.

Masalah itu selanjutnya dibawa ke Dinas Tenaga Kerja Pemkot Surabaya (Disnaker) oleh Sdr. Mudjimantara, dan karena belum dilakukan perundingan bipartit maka di Disnaker itu dilakukan perundingan bipartit. Ternyata YPPI bermaksud untuk mem-PHK Sdr. Mudjimantara, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Bipartit tanggal 30 Agustus 2005.

Kasus itu “macet” di Disnaker. ,Akhirnya dikeluarkan Surat Anjuran Pegawai Perantara Disnaker No. 32/PHK/II/2006 yang isinya menganjurkan agar YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain menurut peraturan-perundang-undangan. Tetapi YPPI tidak menyetujui anjuran tersebut.

Sdr. Mudjimantara mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya dengan register perkara: No. 12/G/2006/PHI-Sby . Tanggal 25 Juli 2006, PHI memutuskan mengabulkan gugatan Mudjimantara dan memerintahkan YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain sebesar Rp. 41.996.800,- (empatpuluh satu juta sembilanratus sembilanpuluh enamribu delapanratus rupiah).

YPPI tidak setuju dengan putusan PHI Surabaya tersebut sehingga mengajukan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Menurut hitungan berdasarkan batas waktu yang diberikan pasal 110 huruf a UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, waktu mengajukan kasasi tersebut sudah melewati 14 hari kerja atau daluarsa.

Tetapi anehnya dalam pemberitahuan pernyataan kasasi dituliskan tanggal permohonan kasasi YPPI adalah 9 Agustus 2006. Di tingkat peradilan pertama itu tampak bahwa Mudjimantara meski memenangkan perkara tapi dipermainkan oleh proses kepaniteraan PHI itu.

Pengadilan Hubungan Industrial di Surabaya (PHI Surabaya) lalu mengirimkan berkas perkara kasasi ke Mahkamah Agung RI tanggal 12 Desember 2006.

Selanjutnya Mahkamah Agung RI a.n. Panitera Mahkamah Agung RI c.q. Panitera Muda Perdata Khusus telah memberitahukan register berkas kasasi kepada Ketua PHI pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan suratnya Nomor: 43/Datsus/U/X/2007, tanggal 5 Oktober 2007.

Sayangnya hingga hari ini Mahkamah Agung belum juga memutuskan perkara tersebut. Padahal menurut pasal 115 UU No. 2 Tahun 20004 putusan kasasi diselesaikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan kasasi.

YPPI mengajukan permohonan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Hari ini sudah Agustus 2008 alias 2 (dua) tahun. Jika terlambat satu atau dua bulan masih wajar meski tetap melanggar hukum. Tapi melambatkan perkara orang kecil hingga dua tahun dari ketentuan undang-undang merupakan hal yang sama sekali tidak wajar. Mahkamah Agung telah memupus harapan seorang buruh, rakyat kecil bernama Mudjimantara. Setelah 17 tahun bekerja sebagai guru, lalu dibuang setelah tak dibutuhkan, kini nasibnya digantung oleh Mahkamah yang semakin diragukan keagungannya. Jika ternyata hanya seperti itu kemampuan Mahkamah Agung, menurut pengalaman hal itu lebih buruk jika dibandingkan lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).

Lalu ke mana orang kecil seperti Mudjimantara yang kehilangan pekerjaan itu harus mencari keadilan jika negara tak lagi kuasa menanggung hak-haknya yang dirampas? Masih adalah Republik Indonesia sebagai negara?

Advokasi

Advokasi Kepada Masyarakat dalam Sengketa Tanah

Latar belakang

Ada banyak kasus sengketa agraria khusus dalam bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat, terutama sisa-sisa masalah Orde Baru maupun akibat pemiskinan struktural. Pemiskinan struktural adalah pemiskinan akibat pemerintahan yang memihak kepada struktur masyarakat pengusaha dan mengorbankan masyarakat lemah.

Pembebasan tanah rakyat secara paksa selain menghilangkan hak-hak milik atas tanah juga menyebabkan perpindahan penduduk yang semakin miskin mencari lahan-lahan kosong (tanah bebas) di berbagai daerah, menetap bertani selama puluhan tahun. Selanjutnya ketika ada pemilik kapital – baik pemerintah sendiri melalui BUMN atau BUMD maupun swasta – yang menghendaki tanah yang dikelola masyarakat miskin tersebut maka dilakukan pengosongan paksa dan kriminalisasi. Contoh kasus ini yang paling mutakhir adalah sengketa pertanahan antara masyarakat Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi melawan PTPN XII, sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan.

Sedangkan contoh sisa kasus sengketa pertanahan akibat pembebasan paksa jaman Orde Baru adalah kasus Alastlogo Pasuruan, kasus tambak garam Kalianget di Sumenep (masih bersifat laten atau belum terang-terangan). Ada pula kasus tanah sisa zaman Belanda seperti contohnya pada kasus tanah Sendi, Pacet, Mojokerto. Selain itu, di zaman reformasi juga terdapat modus-modus tukar guling tanah-tanah masyarakat bekas tanah desa yang sudah diubah menjadi kelurahan.

Tampaknya kasus-kasus tanah rakyat akan terus berlangsung dan membutuhkan perhatian tersendiri. Dalam beberapa contoh kasus tersebut seringkali berujung pada sengketa hukum yang tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat korban yang lemah untuk dapat menikmati hak keadilan mereka.

Fenomena gaya pikir hukum legal formal dan positivistik ditambah dengan praktik penegakan hukum yang korup menjadi masalah penting yang menghambat pemenuhan hak keadilan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui dalam amandemen UUD 1945 dan secara khusus dirumuskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam keadaan seperti itulah advokasi menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan intelektual. Tanpa ada upaya-upaya pembelaan kepada masyarakat lemah yang ditindas oleh oligarki kekuasaan politik-ekonomi maka hak keadilan hanya masih menjadi utopia.

Dalam konstruksi pemikiran hukum yang sejati, hukum adalah untuk keadilan. Para intelektual hukum yang membiarkan adanya penindasan adalah para intelektual yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana pendidikan hukum mengamanatkan tegakknya hukum dan keadilan yang dalam pengertian lebih rasional adalah adanya upaya-upaya dan pekerjaan yang bersifat sosial, nonkomersial, untuk membantu masyarakat lemah ekonomi dan intelektual agar dapat berpartisipasi dalam hidup bernegara yang lebih adil.


BENTUK ADVOKASI

Masyarakat lemah dalam kasus-kasus sengketa pertanahan melawan penguasa (ekonomi) menurut pengalaman sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis kategori menurut perspektif legalitas hukumnya, yaitu:

1. Kategori pertama: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang mempunyai sisa-sisa bukti formal berupa girik atau petok D;

2. Kategori kedua: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang kehilangan surat-surat bukti hak;

3. Kategori ketiga: Masyarakat yang menempati dan mengelola tanah-tanah bebas yang tidak mempunyai alat bukti hak atas tanah, lalu berhadapan dengan korporasi yang memperoleh hak formal atas tanah negara;

4. Kategori keempat: Masyarakat yang kehilangan hak kolektif atas tanah karena perubahan status desa menjadi kelurahan.

Di luar keempat kategori tersebut dimungkinkan ada jenis lainnya.

Cara menilai aspek legalitas dari keempat jenis atau kategori tersebut sebagai berikut:

1. Kategori pertama: penegak hukum lebih mudah mengakui hak mereka, tetapi tidak jarang penegak hukum terjebak dalam pemikiran legal formal jika ternyata lawan masyarakat tersebut mempunyai alat bukti sertifikat hak atas tanah. Cara mereka berpikir adalah: sertifikat lebih kuat dibandingkan girik atau petok.
Cara berpikir ini mestinya tidak benar, sebab sertifikat hak atas tanah dimungkinkan untuk dibatalkan atau menjadi tidak sah jika diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar.

2. Kategori kedua: penegak hukum cenderung tidak mengakui hak masyarakat atas tanah yang tidak dibuktikan dengan alat bukti surat. Cara pikir itu juga keliru sebab bahkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pun diatur cara pembuktian hak lama dengan keterangan kepala desa yang menerangkan penguasaan fisik tanah selama 20 tahun tanpa gangguan hak, jika alat bukti surat tidak ditemukan (pasal 24 ayat 2 jo. pasal 39 ayat 1 huruf b angka 1).

3. Kategori ketiga: Penegak hukum akan membela korporasi yang mempunyai alat bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah dan cenderung tidak mau meneliti apakah sertifikat serta gambar situasi atau surat ukurnya sesuai kenyataan atau tidak.

4. Kategori keempat: Penegak hukum mengikuti ketentuan hukum administrasi negara sehingga tidak lagi mengakui hak kolektif masyarakat bekas pemilik hak kolektif atas tanah. Dalam hal ini tanah jatuh menjadi tanah negara.

Bentuk advokasi yang dilakukan berkaitan dengan sengketa pertanahan tersebut pada dasarnya sesuai prinsip manajemen. Advokasi hendaknya dilakukan secara terstruktur, sedapat mungkin beraliansi dengan organisasi lainnya termasuk merangkul kekuatan-kekuatan lokal baik organisasi kemahasiswaan, keagamaan, kepemudaan, paguyuban masyarakat yang ada dan lain-lain.

Pertama, ddvokasi dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. dalam hal advokasi dilakukan secara sindikasi atau konsorsium maka perencanaan disusun secara bersama-sama, termasuk menyepakati target-target yang akan dicapai dan tindakan-tindakan lain ketika target serta tujuan tidak tercapai.

Kedua, memulai advokasi dengan membentuk kelompok belajar bagi warga: para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, lalu mereka bertemu dalam bentuk paguyuban warga. Ini selanjutnya akan menjadi organisasi rakyat yang di dalamnya terdapat kepengurusan dan cara penggalangan dana perjuangan mereka. Organisasi perjuangan rakyat ini sangat penting agar pertama-tama terwujud manajemen gerakan masyarakat yang lebih rapi dan teratur, mampu menggerakkan semangat bersama, mengantisipasi segala keberhasilan dan yang penting siap menghadapi kegagalan-kegagalan.

Kegiatan belajar bersama yang materinya adalah tentang hukum pertanahan, HAM, organisasi pemerintahan akan memperkuat pengetahuan masyarakat yang selama ini lemah secara intelektual karena pendidikan mereka yang rata-rata rendah atau bahkan banyak yang tidak pernah sekolah.

Ketiga, menyusun strategi tentang arah perjuangan dan apa saja yang akan dilakukan oleh organisasi masyarakat yang diadvokasi. Dalam keadaan-keadaan tertentu terkadang penting untuk melibatkan struktur politik terlibat turut memberikan dukungan gerakan masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kasus Margorukun Lestari Banyuwangi adalah contoh kurangnya dukungan jaringan organisasi dan struktur politik. Tetapi sebaliknya kasus tanah Desa Sendi Mojokerto mendapatkan dukungan yang amat luas, termasuk kekuatan politik lokal.

Dalam gerakan sosial itu hambatan yang paling sering terjadi adalah perpecahan di kalangan masyarakat sendiri yang memperlemah gerakan. Kadangkala dapat diatasi dan dapat dipersatukan tetapi banyak pula yang sulit dipersatukan.

Evaluasi advokasi dilakukan secara periodik dalam pertemuan-pertemuan evaluasi. Tak jarang bahkan dalam advokasi konsorsium terjadi kesalahpahaman dan perpecahan antar aktivis atau organisasi yang melakukan advokasi.

Keempat, setelah organisasi masyarakat terbentuk dan lebih matang dalam pengetahuan serta keberanian berargumentasi maka tiba saatnya melakukan hal-hal yang disepakati. Bagian-bagian organisasi masyarakat, misalnya: lobi, humas, hukum, penggalangan dana, pengorganisasian, pendidikan, dan lain-lain mulai digerakkan. Surat-menyurat dilakukan, mendatangai lembaga atau pejabat yang berwenang, mengumpulkan data-data sebanyak-banyaknya adalah sangat penting, serta menggalang dukungan seluas-luasnya, melakukan demonstrasi dalam hal upaya lobi dan korespondensi kurang mendapatkan perhatian.

Sedapat mungkin dalam advokasi untuk tidak terburu-buru mengajukan upaya hukum. Upaya hukum akan dilakukan jika terdapat tanda-tanda dukungan dari para penegak hukum. Untuk mencari dukungan penegak hukum maka organisasi masyarakat dan para pendampingnya harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan para penegak hukum dalam rangka membuka wacana tentang persoalan yang dihadapi masyarakat.


PRINSIP ADVOKASI

Advokasi dilakukan hendaknya tidak dengan gaya berpikir legal formal atau positivistik. Advokasi pada prinsipnya adalah BERPIHAK KEPADA YANG LEMAH. Meski dalam hal ini tidak bermaksud untuk membenarkan suatu kesalahan.

Sebagai ilustrasi dalam melakukan advokasi dapat diberikan contoh penerapan hukum pada jaman Nabi Muhammad dan para khalifah yang adil, di mana para pencuri yang miskin diberikan ampunan dan negara diwajibkan untuk mengurusi kebutuhan keluarganya hingga mampu.

Tetapi dalam praktiknya di Indonesia terjadi hal yang sebaliknya, di mana dilakukan kriminalisasi kepada kaum lemah, dengan cara rekayasa hukum. Hukum ditegakkan dengan cara melanggar hukum. Orang yang miskin hidup di tanah negara dipenjara dengan alasan tidak mempunyai dasar hak, tetapi negara membiarkannya dalam keadaan miskin. Itu adalah contoh pelanggaran HAM oleh pemerintah sebab pemerintah (pusat dan daerah) wajib menegakkan dan memenuhi HAM warga negara (pasal 28 I ayat 4 UUD 1945).

Hal yang mendasar dalam negara hukum Indonesia yang selama ini dilupakan adalah pelaksanaan keadilan sosial. Dengan semakin banyaknya produk hukum yang disisipi kepentingan para pemilik kapital maka advokasi juga harus mengarah pada kontrol penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk tentang tataguna usaha tanah dan rencana tata wilayah.

Advokasi juga dilakukan dalam rangka menciptakan kemandirian sosial di mana rakyat tidak lagi bergantung kepada pemerintah.

Surabaya, 22 Januari 2009.

Sabtu, 2008 September 06

LUMPUR LAPINDO, HARUSKAH MENUNGGU PENGADILAN?

Pihak Lapindo dan banyak kalangan menilai bahwa Lapindo Brantas Inc (Lapindo) belum diputuskan bersalah oleh pengadilan, tapi bersedia membayar ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo (khusus untuk yang ada dalam peta terdampak 22 Maret 2007). Hal itu dinilai sebagai ‘kebaikan’ atau itikad baik Lapindo.

Untuk memperoleh cara pikir yang lebih komprehensif, tulisan ini hendak mengulas setidaknya berkaitan dengan dua pertanyaan, yaitu: (1) Apakah menentukan Lapindo bersalah atau tidak harus menunggu putusan pengadilan? (2) Bagaimana prinsip pertanggungjawaban dalam usaha hulu minyak dan gas bumi (migas)? Tentu saja, karena pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan hukum, maka jawabannya juga berdasarkan hukum.

Penyebab semburan lumpur

Seperti kita ketahui, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kepada Lapindo dinyatakan ditolak. Alasan hakim, semburan lumpur Lapindo merupakan bencana alam, bukan kesalahan Lapindo. WALHI banding atas putusan tersebut sehingga menurut hukum acara perdata putusan PN Jakarta Selatan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap alias mental.

Berbeda dengan PN Jakarta Pusat telah berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan kelalaian Lapindo dalam melakukan pemboran. Tetapi gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) itu ditolak oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat dengan alasan tidak ada pelaggaran HAM karena Lapindo dan pemerintah dinilai telah memenuhi HAM para korban. YLBHI mengajukan banding atas putusan tersebut sehingga putusan PN Jakarta Pusat juga masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

WALHI mengajukan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah dalam tema pencamaran dan perusakan lingkungan hidup. WALHI menggunakan kedudukan hukumnya sebagai organisasi wali lingkungan hidup (yang di dalamnya terdapat aktor lingkungan berupa manusia). Sedangkan YLBHI mengajukan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah dalam tema pelanggaran HAM. YLBHI menggunakan kedudukannya sebagai organisasi pejuang HAM (human rights sefender). Sedangkan warga korban Lapindo sendiri hingga saat ini belum pernah menggugat Lapindo.

Proses hukum pidana kasus lumpur Lapindo ditangani Polda Jatim. Penyidik telah bekerja keras melakukan pemeriksaan perkara. Penyidik telah melimpahkan berkas kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tanggal 30 Oktober 2006 tapi berkasnya masih terus dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dengan petunjuk (P19) secara berulang-ulang, hingga sekarang, dengan petunjuk berubah-ubah.

Mengapa berkas kasus lumpur itu bisa bolak-balik seperti penari kuda lumping? Dengan pikiran positif kita masih bisa menduga bahwa Jaksa yang menangani kasus itu ingin berkas perkara itu benar-benar sempurna sehingga para tersangka/terdakwa kasus lumpur yang berjumlah 13 orang itu tidak akan lolos dari jerat hukum.

Namun ada pula pihak-pihak yang meragukan, jangan-jangan kalau para terdakwa bebas maka masyarakat tidak dapat meminta ganti rugi kepada Lapindo? Seandainya kemungkinan paling buruk bahwa para terdakwa kasus lumpur itu dibebaskan maka menurut pasal 1919 KUHPerdata, putusan pembebasan terdakwa itu tidak boleh dijadikan alat untuk menolak gugatan ganti rugi. Artinya, dalam satu kasus, hakim yang mengadili perkara perdatanya tidak terikat dengan putusan perkara pidananya. Apalagi secara perdata dalam kasus Lapindo ini urusan penyelesaian masalah sosialnya tidak melalui pengadilan, tapi dengan kebijakan (beleid) berupa Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 Tahun 2007).

Penegak hukum dalam kasus lumpur pernah mengatakan bahwa fakta kasus tersebut tidak dapat dilihat dengan mata. Artinya, penyidik atau siapapun tidak bisa mengetahui kejadian di dalam bumi. Menurut mereka, kasus tersebut sangat bergantung pada keterangan para ahli.

Tapi, hukum tidak selalu mensyaratkan terbuktinya fakta dari pengetahuan mata secara langsung. Ada hal-hal yang bisa dicari korelasi kausalitasnya dengan logika obyektif, meminjam istilah Prof. Moeljatno. Contohnya dalam kasus pembunuhan kepada Munir, tidak satupun saksi mata yang melihat.

Dengan berbekal pada logika obyektif tersebut, kiranya tidak sulit mencari penyebab semburan lumpur tersebut. Meskipun kejadian di dalam bumi tidak dapat dilihat, seluruh kegiatan pemboran tersebut terekam dalam dokumen-dokumen real time chart, daily drilling report, dan lain-lain. Dalam pemboran juga ada standard operating procedur (SOP) serta kaidah keteknikan yang baik. Jika SOP atau kaidah keteknikan itu dilanggar maka disitulah kesalahan bermula.

Namun penegak hukum harus cermat, sebab tampaknya sudah ada indikasi dari Lapindo untuk "menyembunyikan" alat bukti dokumen asli riwayat pemboran, seperti kesaksian Andang Bachtiar. Ahli pemboran dan geologi yang diperiksa penyidik Polda Jawa Timur itu dalam milis IAGI.net (18/7/2008) mengungkapkan kesaksian sebagai berikut: "Yang diserahkan ke pihak berwajib itu, setahu saya adalah: REPRINT dari REAL-TIME CHART berdasarkan digital asci file yang direprint dg skala berbeda (lebih rapat) dari aslinya, kemudian difoto-copy dan diberikan coretan komentar (tambahan) yang kesemuanya dilakukan 9 bulan setelah kejadian (Jan-Peb 2007), sedangkan REAL-TIME CHART asli print-out dari lapangan yang biasanya diberi catatan2 tambahan oleh Mudlogger maupun Pressure Engineer pada saat kejadian, setahu saya tidak dimiliki oleh pihak yang berwajib. Kabarnya LBI-pun tidak memiliki lagi barang tersebut, karena menurut yang saya dengar: demi kepentingan hukum pihak yang bersengketa, barang tersebut dikuasai oleh pengacara. Setahu saya, geolograph chart IADC yang bulet2 itupun tidak dimiliki oleh pihak berwajib."

Bagaimana dengan pendapat bahwa semburan lumpur Lapindo akibat gempa Jogja? Ini sangat sulit membuktikannya, melainkan hanya dengan asumsi-asumsi geologis (tidak mungkin dibuktikan secara teknis). Sedangkan asumsi atau hipotesis bukanlah alat bukti hukum.

Banyak ahli berpendapat bahwa gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur. Semburan lumpur itu dipicu oleh aktivitas eksplorasi (man-made), bukan karena gempa Jogja (Richard J. Davies, GSA Today, Februari 2007). Amien Widodo, Kepala Pusat Studi Bencana ITS, Richard J Davies, Andang Bachtiar, Rudi Rubiandini, Masrufin, termasuk para ahli yang tidak sepakat bahwa gempa Jogja merupakan pemicu semburan lumpur Lapindo di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1) Porong.

Hasil pencatatan Badan Metereologi dan Geofisika yang dipaparkan Tiar Prasetya menunjukkan gelombang primer gempa Jogja tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terpolarisasi (terkutubkan) sekan-akan membentuk pola bunga melati. Jalur kerusakan ke arah Timur melintasi Pacitan, jika sumbu polarisasi ke arah Timur diteruskan maka posisinya jauh dari Porong (Masrufin, 15/7/2006).

Secara lebih moderat - dengan tidak mau memutlakkan gempa Jogja sebagai bukan sebab - Prof. Perry Burhan, guru besar Geokimia Organik ITS, mengatakan bahwa akibat gesekan gempa Jogja bisa jadi penyebab semburan lumpur. Tetapi seandainya Lapindo memasang casing dalam melakukan pemboran maka semburan itu tak akan terjadi sebab di situ terdapat lapisan diapir yang sudah diketahui Lapindo (Antara.co.id, 11/9/2007).

Tetapi hukum tentu tidak cukup hanya dengan pendapat-pendapat para ahli tersebut. Fakta hukum membutuhkan alat bukti. Alat bukti itu diperoleh dari hasil-hasil penyelidikan data-data dalam mencari penyebab semburan lumpur itu. Fakta-fakta itu diantaranya bahwa dalam proses pemboran di sumur BJP-1 telah terjadi masalah, diantaranya: terjepitnya bor, dipotongnya pipa bor, digunakannya blow out preventer (BOP) untuk menutup tekanan gas dari bawah, dan lain-lain merupakan fakta-fakta yang dapat dibuktikan. Problem pemboran tersebut juga tertuang dalam dokumen kronologi dan perencanaan penanganan semburan lumpur yang dibuat BP Migas dan Lapindo Brantas tertanggal 12 Juni 2006.

Sedangkan fakta tidak dipasangnya casing di kedalaman tertentu dapat dilihat dari alat bukti surat Medco kepada Lapindo, No. MGT-088/JKT/06, tertanggal 5 Juni 2006, yang menyatakan bahwa dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006 Medco telah memperingatkan agar dilakukan pemasangan casing 9-5/8” di kedalaman 8.500 kaki untuk antisipasi potensi masalah sebelum penetrasi ke formasi Kujung, sebagai program yang telah disetujui. Tetapi operator pemboran Lapindo tidak melaksanakannya.

Alat bukti lainnya adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporannya tertanggal 29 Mei 2007, menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo itu akibat kesalahan teknis dalam pemboran, termasuk disebabkan peralatan serta tenaga pemboran yang tidak memenuhi syarat teknis yang baik.

Beberapa temuan BPK soal teknis tersebut di antaranya (tidak semua disebutkan dalam tulisan ini):

(1) Berdasarkan daily drilling report disebutkan bahwa beberapa kegagalan pelaksanaan kegiatan disebabkan rendahnya kualitas personel, misalnya adanya indikasi ketidakmampuan drilling crew dalam mengoperasikan peralatan pemboran, meski menurut Lapindo mereka sudah memegang sertifikat Pusat Pelatihan Tenaga Pengeboran Minyak (PPT Migas Cepu);

(2) Peralatan pemboran yang digunakan oleh kontraktor Lapindo (PT. MCN) dan subkontraktor sering mengalami kerusakan. Selain itu juga ada indikasi penggunaan suku cadang bekas/kualitas rendah maupun kanibalisme suku cadang antar perlatan. Kondisi tersebut mengindikasikan tidak tersedianya peralatan dan suku cadang yang berkualitas secara memadai sehingga meningkatkan risiko kegagalan kegiatan dan berlarut-larutnya pelaksanaan kegiatan. Keterlambatan pelaksanaan pemboran yang disebabkan oleh hal-hal tersebut mencapai kurang lebih 27 hari.

(3) Pihak Lapindo (dengan kontraktor PT MCN) sampai dengan tanggal 27 Mei 2006 telah mengebor sumur BJP-1 sampai dengan kedalaman 9.297 kaki. Namun demikian, casing baru dipasang sampai kedalaman 3.580 kaki. Hal ini berarti ada bagian lubang sumur yang belum dipasang casing atau dibiarkan tetap terbuka (open hole) sedalam 5.717 kaki (antara kedalaman 3.580 kaki ke 9.297 kaki). Open hole yang panjang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan penyelesaian well problem seperti well kick dan loss.

(4) Ada indikasi operator terlambat menutup sumur BJP-1 sejak terjadinya kick pada kedalaman 7.415 kaki. Penutupan sumur baru dilakukan pada saat mata pipa bor berada pada kedalaman 4.241 kaki dengan besaran kick jauh di atas toleransi. Keterlambatan menutup sumur tersebut mengakibatkan kick tidak tertangani secara benar yang pada akhirnya mengakibatkan underground blowout.

(5) Berita Acara tanggal 8 Juni 2006 tentang penanggulangan kejadian semburan lumpur di sekitar Sumur BJP-1 menyatakan bahwa BP Migas maupun Lapindo sepakat semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu overpressure zone dan Formasi Kujung (formasi batuan gamping) dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.

(6) Laporan Loss Adjuster Matthews Daniel International, Pte, Ltd tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis.

Berdasarkan uraian tersebut, secara hukum Lapindo dapat dinyatakan bersalah dalam melakukan pemboran yang mengakibatkan semburan kumpur itu, sekurang-kurangnya dengan alat-alat bukti: (1) alat bukti surat berupa dokumen real time chart, daily drilling report, SOP, dokumen audit BPK, surat Medco kepada Lapindo No. MGT-088/JKT/06, tertanggal 5 Juni 2006, dokumen kronologi dan perencanaan penanganan semburan yang dibuat Lapindo dan BP Migas tanggal 12 Juni 2006, dan lain-lain surat; (2) alat bukti keterangan para saksi pelaksana pemboran dan korban yang saat itu berada di sekitar serta mengetahui adanya kegiatan pemboran; dan (3) alat bukti keterangan ahli yang menjelaskan alat bukti surat-surat tersebut.
Berbagai alat bukti tersebut telah memenuhi standard degree of evidence, baik menurut hukum acara pidana, perdata dan administrasi negara.


Apakah harus menunggu putusan pengadilan?

Menurut BPK, Ditjen Migas telah melakukan investigasi kasus semburan lumpur Lapindo itu pada tanggal 30 Mei s.d. 2 Juni 2006. Tetapi Ditjen Migas belum mengemukakan apakah peristiwa tersebut berhubungan dengan masalah pidana atau kecelakaan kerja. Padahal salah satu kewenangan Ditjen Migas menurut Keputusan Menteri ESDM No.1088K/20/MEM/2003 tanggal 17 September 2003 adalah melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dalam rangka penentuan apakah berhubungan dengan masalah pidana atau kecelakaan operasional. Itu berkaitan dengan hukum administrasi negara permigasan. Jadi, Ditjen Migas selaku pejabat administrasi negara sebenarnya berwenang memutuskan ada atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan Lapindo, tanpa menunggu putusan pengadilan.

Keputusan Ditjen Migas untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran dalam kasus pertambangan migas seperti itu juga terkait dengan tindakan hukum selanjutnya, entah itu dalam bidang hukum pidana (dengan menyerahkan ke kepolisian) maupun pemberian sanksi administrasi kepada pelaku usaha tambang migas yang terbukti melanggar.

Dalam hukum lingkungan juga ditentukan wewenang Gubernur (yang dapat diserahkan ke Bupati) untuk melakukan paksaan pemerintahan agar penanggung jawab usaha melakukan tindakan mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran (pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997). Artinya, Gubernur (juga selaku pejabat administrasi Negara) berwenang menilai ada atau tidaknya pelanggaran dalam kasus lingkungan hidup, tanpa menunggu putusan pengadilan. Tentu saja hal itu diputuskan melalui alat-alat bukti yang cukup tersebut.

Mengapa hukum mengatur seperti itu, tidak menunggu putusan pengadilan dalam kasus seperti itu? Itulah merupakan fungsi hukum administrasi negara yang diperlukan untuk mengatasi persoalan yang membutuhkan kecepatan waktu. Apabila penanggung jawab usaha tidak menerima keputusan pemerintah maka dapat mengajukan gugatan atau mengujinya di pengadilan. Itu merupakan risiko pemerintahan yang sudah biasa. Jika ternyata putusan pengadilan nantinya misalnya memenangkan penanggung jawab usaha maka itu merupakan konsekuensi yang harus ditanggung negara, sehingga negara wajib mematuhi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun dengan cara penyelesaian penggunaan hukum administrasi negara lebih dulu maka akan dapat memberikan kepastian kepada rakyat korban agar segera memperoleh penyelesaian. Dalam situasi sosial kemasyarakat yang darurat justru dibutuhkan kecepatan tindakan oleh pejabat administrasi negara yang berwenang.

Dalam kasus lumpur Lapindo tampaknya hukum administrasi Negara itu dijalankan oleh Presiden dengan mengeluarkan Perpres No. 14 Tahun 2007, meski bentuknya setengah aturan dan setengah keputusan. Dikatakan setengah aturan karena bentuknya Peraturan Presiden. Dikatakan setengah keputusan sebab menunjuk konkrit dan individual serta final menunjuk Lapindo bertanggung jawab mengeluarkan uang untuk penyelesaian sosial dengan cara “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo dalam peta wilayah terdampak 22 Maret 2007.

Kelompok korban Lapindo yang tidak sepakat dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 telah meminta agar Mahkamah Agung menguji Perpres No. 14 Tahun 2007. Kemudian MA memutuskan menolak permohonan uji materiil itu dan mengukuhkan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 (putusan MA No. 24 P/HUM/2007). Artinya, dalam kasus Lumpur Lapindo sebenarnya sudah keluar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang merumuskan pertimbangan menyetujui kebijakan Presiden dalam membebankan tanggung jawab penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dalam peta terdampak 22 Maret 2007 itu.

Putusan MA tersebut tidak tegas menyatakan Lapindo bersalah, sebab memang proses uji materiil terhadap Perpres No. 14 Tahun 2007 tidak mungkin menyatakan Lapindo bersalah, karena itu bukan perkara perdata atau pidana dan Lapindo juga bukan pihak perkara dalam permohonan itu).

Namun dalam halaman 57 - 58 putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut MA merumuskan pertimbangan diantaranya: “Bahwa oleh karena itu Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No. 14 Tahun 2007 tersebut memberikan hak dan jaminan bagi pemilik tanah dan bangunan terdampak luapan Lumpur Sidoarjo untuk mendapatkan ganti rugi nilainya melalui JUAL BELI dengan harga yang didasarkan atas persetujuan atau kesepakatan para korban pemilik tanah dan bangunan. Dengan demikian tidak ternyata ketentuan Pasal 15 Peraturan Presiden tersebut mengandung atau menampakkan ada penyalahgunaan wewenang ataupun adanya kesewenang-wenangan dari Presiden RI., satu dan lain hal karena muatan kebijakannya sudah memperhatikan baik kepentingan PT. Lapindo Brantas disatu pihak maupun kepentingan masyarakat terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dilain pihak secara wajar dan proporsional; lagipula Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak mengandung hal-hal yang memaksa, karena pelaksanaannya sepenuhnya atas dasar kata sepakat antara anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan dengan PT. LAPINDO BRANTAS.”

Nah, ternyata cara pandang MA dalam kasus Lapindo sama dengan cara pandang orang pada umumnya bahwa cara JUAL BELI tanah dan bangunan korban itu disebut sebagai GANTI RUGI. Jika ditarik logika hukumnya, GANTI RUGI hanya diterapkan bagi orang yang kehilangan hak yang disebabkan oleh perbuatan pihak lain. Misalnya: Si B selaku developer membebaskan tanah milik si A. Berarti si B merupakan penyebab A kehilangan hak milik atas tanahnya. Secara otomatis si B wajib memberikan ganti rugi kepada si A sesuai dengan harga tanah yang mereka sepakati.

Jika logika hukum itu diurai lebih lanjut, Perpres No. 14 Tahun 2007 adalah hukum administrasi negara yang telah memutuskan Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kasus semburan lumpur Lapindo (dengan dibatasi tanggung jawabnya hanya pada masalah sosial dalam peta terdampak 22 Maret 2007). Lapindo tidak pernah menolak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Berarti secara hukum itu adalah sebagai “pengakuan bersalah”. Dan pengakuan itu tidak dapat lagi dianulir dengan dikukuhkannya pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 oleh putusan Pengadilan berupa putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut.

Politik ekonomi

Jika berpedoman pada hukum permigasan, pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas menentukan adanya kewajiban adanya ketentuan kontrak kerjasama usaha hulu migas antara pemerintah dengan pengusaha yang menentukan bahwa seluruh modal dan risiko harus ditanggung pengusaha. Dengan ketentuan tersebut maka kasus semburan lumpur Lapindo sebenarnya sudah tidak membutuhkan perdebatan benar-salah, tinggal menerapkan. Artinya, Lapindo harus dibebani menanggung risiko usahanya di sumur Blok Brantas – khususnya di sumur BJP-1 itu – yang telah menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi negara.
Tetapi hukum itu disimpangi. Pemerintah memutuskan politik ekonomi dengan baju hukum administrasi negara dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 yang membebani anggaran negara tak terbatas dengan membatasi tanggung jawab Lapindo.

Pemerintah pusat telah merumuskan kebijakan nasional dalam kasus lumpur Lapindo itu dengan rencana pengeluaran dana APBN sebesar Rp. 7,6 triliun. Jadi, opini yang menyatakan bahwa pemerintah tidak mau keluar uang adalah opini yang dilandasi ketidaktahuan. Berdasarkan kalkulasi Greenomics, jika semburan lumpur itu tak dihentikan atau tidak berhenti maka terpaksa negara akan menganggarkan Rp. 750 triliun dalam waktu sekitar 30 tahun. Berarti, anak-anak cucu kita yang saat ini belum lahir akan menanggung biaya tersebut.

Jadi, pemerintahan SBY-JK telah memutuskan untuk mengambil tanggung jawab terbesar kasus itu dibebankan kepada negara. Maka Grup Bakrie harus berterima kasih kepada pemerintahan SBY-JK dan kepada rakyat Indonesia yang menyetujui sukarela atau terpaksa atas penyelesaian hukum administrasi negara berdasarkan Perpres No. 14 Tahun 2007.

Semua itu semakin menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak terlalu berani untuk ‘melawan’ Lapindo. Jadi, untuk saat ini memutuskan semburan lumpur Lapindo itu sebagai bencana alam ataupun bencana akibat ulah manusia sudah tak ada gunanya dalam konteks untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus itu.

Namun, untuk memastikan perlindungan korban yang semakin memburuk kondisinya, maka pemerintah memang harus menerapkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana agar perlakuan layanan kepada korban lumpur Lapindo sesuai dengan standar yang baik. Jangan kuatir! Definisi bencana menurut pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2007 adalah bencana alam maupun bencana akibat faktor kesalahan manusia! Jadi, bencana tidak selalu merupakan bencana alam.

Untuk kasus semburan lumpur Lapindo, dengan alat bukti berjibun itu, layak jika dinyatakan sebagai bencana karena faktor (kesalahan) manusia. Karena manusia yang melakukan kesalahan itu berada dalam hubungan kerja dengan Lapindo, maka yang bertanggung jawab adalah Lapindo (Teori Hukum Risiko Ekonomi). Apabila kekayaan Lapindo tidak mencukupi maka induk perusahannya menjadi penanggungjawabnya (Doktrin Hukum Korporasi Moderen).

konsultan hukum

Konsultan Hukum
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Ada usul agar artikel atau bagian ini digabungkan ke artikel Pengacara (diskusikan)

Konsultan hukum biasa disebut juga advokat atau pengacara adalah profesi yang memberikan jasa konsultasi di bidang hukum. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) memberikan definisi advokat sebagai "orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini."

[sunting] Persyaratan Profesi

Pasal 3 ayat 1 UU Advokat menetapkan persyaratan tertentu untuk dapat diangkat menjadi advokat yaitu:

1. warga negara Republik Indonesia;
2. bertempat tinggal di Indonesia;
3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.

[sunting] Jasa Yang Diberikan

1. Di dalam pengadilan, mendaftarkan, membuat,gugatan (Perdata), mewakili klien dalam perkara-perkara di pengadilan
2. Di luar pengadilan:

* memberikan nasehat hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan (misalnya: perkawinan, perceraian, warisan), masalah bisnis (misalnya: rencana usaha, restruktrisasi usaha, pembelian/penjualan aset);
* mempersiapkan dokumen hukum, diantaranya konsep perjanjian, pendirian/pembubaran perusahaan, akuisisi, penggabungan usaha, konsolidasi;
* mewakili klien dalam negosiasi bisnis, penyelesaian sengketa di luar pengadilan;
* Mendampingi saksi dan atau tersangka pada saat pemeriksaan dan atau pembuatan "Berita Acara Pemeriksaan" di hadapan petugas Kepolisian Republik Indonesia

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Konsultan_Hukum"
Kategori: Artikel yang layak digabungkan

Sabtu, 18 April 2009

YOGA DEVONATA.SH

Hukum Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Hukum perdata Indonesia

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.

Wikisumber memiliki naskah atau teks asli yang berkaitan dengan:

Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:

  • Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
  • Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
  • Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
  • Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.

[sunting] Hukum pidana Indonesia

Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).

[sunting] Hukum tata negara

Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara.

[sunting] Hukum tata usaha (administrasi) negara

Hukum tata saha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukm tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.

[sunting] Hukum acara perdata Indonesia

Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata.

[sunting] Hukum acara pidana Indonesia

Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.

[sunting] Asas dalam hukum acara pidana

Asas didalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:

  • Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
  • Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
  • Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
  • Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
  • Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.

[sunting] Hukum antar tata hukum

Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.

[sunting] Hukum adat di Indonesia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hukum Adat di Indonesia

Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah.

[sunting] Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena akan bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia itu sendiri. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Hukum Islam berasal dari Al Quran, sedangkan hukum di Indonesia berasal dari Pancasila dan UUD 1945. Dalam hukum Islam, berzina dihukum rajam, sedangkan di Indonesia berzina hukumannya adalah penjara, jadi dalam hukum Islam tidak mengenal penjara, karena dalam penjara tidak ada penghapusan dosa sebagai ganti hukuman di akhirat. Apabila di dunia orang yang bersalah telah dihukum sesuai syariat Islam, maka di akhirat orang tersebut sudah tidak diproses lagi, karena telah diproses sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kitab-Nya, Al Qur'an.

Di dalam Al Quran surat 5:44, Barangsiapa yang memutuskan sesuatu tidak dengan yang Allah turunkan, maka termasuk orang yang kafir". Demikian juga dalam ayat 45, dan 47. Jadi umat Islam harus menegakkan hukum syariat Islam secara keseluruhan, karena Allah telah memerintahkan agar ummat-Nya masuk Islam secara keseluruhan (QS 2:208).

[sunting] Istilah hukum

[sunting] Advokat

Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.

[sunting] Advokat dan pengacara

Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan. Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja.

Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek adalah seseorang yang memegang izin praktek / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktek tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.

[sunting] Konsultan hukum

Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi advokat.

[sunting] Jaksa dan polisi

Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia adalah kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya. Apabila ditemukan unsur-unsur tindak pidana, baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku (tersangka) akan diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana yang diduga terjadi. Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa saksi-saksi dan alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang apabila dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan untuk dipersiapkan masa persidangannya di pengadilan. Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisa bukti-bukti serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat bahwa bukti atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk dilengkapi. Setelah lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan disidang dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status terdakwa berubah menjadi terpidana.

 
Template by: Abdul Munir